BBM-Pertambangan Mampu Beli Sesuai Pasar

BBM-Pertambangan Mampu Beli Sesuai Pasar

Suara Karya, 3 Agustus 2005

 

JAKARTA (Suara Karya): Asosiasi Pertambangan Indonesia (Indonesian Mining Association/IMA) menyatakan mampu membeli BBM sesuai harga pasar. IMA memperkirakan pembelian BBM dengan harga pasar itu akan menambah biaya produksi 2-3 dolar AS.

"Penerapan harga pasar merupakan keputusan nasional, jadi harus diterima," kata Ketua IMA Jeffrey Mulyono saat jumpa pers di Jakarta, Senin (1/8).

Ia mengakui, memang tidaklah pantas jika ada industri yang menguntungkan harus mendapatkan BBM dengan harga subsidi dari pemerintah. "Memang berat jika dipandang dari sisi komersial, tapi secara spirit harus kita terima," ujar dia.

Dikatakannya, untuk sektor pertambangan batu bara iklim harga batu bara cukup baik saat ini. Harga batu bara yang membaik cukup untuk menutup kenaikan beban produksi akibat diberlakukannya harga BBM sesuai dengan harga pasar.

Jeffrey mengatakan ketergantungan sektor pertambangan terhadap pemakaian BBM cukup besar. Setiap pon pemindahan material batu bara dibutuhkan sekitar 0,7 sampai 0,8 liter BBM. "Keharusan membeli BBM dengan harga pasar akan menciptakan mekanisme pasar baru di sektor pertambangan," ungkap dia.

Dia setuju secara perlahan pemerintah memang harus mengurangi subsidi karena resiko adanya subsidi lebih besar daripada keuntungan yang didapatnya. "Secara perlahan-lahan memang kita harus mengurangi subsidi untuk kemajuan bangsa ini," tegas Jeffrey.

Pada kesempatan tersebut IMA juga menyoroti iklim industri pertambangan sendiri. Menurut Jeffrey pengusaha pertambangan masih mengeluhkan adanya ketidakpastian kebijakan fiskal secara umum. Hal ini menyebabkan selama beberapa tahun terakhir hampir tidak ada investasi baru, yang ada hanya pemekaran produksi dari industri yang sudah ada.

Dikatakannya, investasi di sektor pertambangan biayanya sangat besar. Jika investor bisa memrediksi kebijakan fiskal di Indonesia 20 tahun ke depan, maka pelaku bisnis pertambangan akan menanamkan modalnya. "Tapi kalau tidak bisa memrediksikan, siapa yang mau masuk ke Indonesia," kata Jeffrey.

Menurut dia, investor baru lebih memilih uangnya diinvestasikan ke negara lain yang mampu menjamin uang-nya. Inilah yang menjadi tantangan buat para investor.

Jeffrey yang juga direktur utama PT Berau Coal mencontohkan ketidakpastian itu salah satunya adalah soal kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan dan pengelolaan batubara (PKP2B).

Awalnya pajak pertambangan batu bara berbentuk lex specialis, yakni semua perpajakan yang dilakukan pada penandatanganan kontrak berlaku sampai kontrak selesai. Jadi kalau nantinya kondisi usahanya memburuk atau membaik, mereka tetap bisa menghitung biaya pajak sampai akhir kontrak.

Tapi pemerintah saat ini mengenakan sistem pajak dengan menyesuaikan setiap perubahan perpajakan. "Kalau begini, kegiatan ekonominya tidak bisa jalan," kata Jeffry.

Hingga kini hampir tidak ada investasi baru yang masuk ke sektor pertambangan. Peningkatan produksi yang totalnya sebanyak 170 juta ton batu bara dilakukan oleh investor lama. Artinya sudah memiliki tambangnya dan tinggal melanjutkan.

Meski demikian, dia yakin dalam 15 tahun ke depan iklim pertambangan akan mulai bergairah kembali, asalkan iklim invetasi diperbaiki. " Kita harapkan kalau bisa dalam lima tahun ini iklim tersebut sudah mulai kondusif sehingga investor akan berminat masuk ke Indonesia," ujarnya.

sumber: