Batubara, "Barang Tuhan" yang Pantas Dibagi Rata

Banjarmasinpos, 8 Juni 2004 - HANYA dalam waktu semalam, ratusan truk yang mengangkut batu bara hasil penambangan tanpa izin dari Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, mencapai 40.000 metrik ton. Jumlah itu lima kali lipat dibandingkan dengan produksi batu bara legal yang dikeluarkan perusahaan tambang negara PT Arutmin Indonesia Tambang Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, selama sehari semalam.

REGIONAL Site Manager PT Arutmin Tambang Satui Sumarwoto mengatakan, dalam sehari produksi Arutmin di Tambang Satui hanya 9.000 metrik ton. "Jadi, produksi kami kalah dengan produksi peti (penambangan tanpa izin)," katanya.

Lalu bagaimana dengan total produksi tambang batu bara seluruh Kalsel? Data mengejutkan diungkapkan External Affairs PT Arutmin Indonesia Sonny T Pangestu. Sonny membeberkan, selama tiga tahun terakhir produksi peti di Kalsel sekurangnya mencapai 28 juta metrik ton.

Jumlah itu terutama berasal dari produksi peti dari tiga areal tambang Arutmin, yaitu Tambang Satui yang berada di Kabupaten Tanah Laut dan Tanah Bumbu, Tambang Batulicin di Tanah Bumbu, dan Tambang Senakin di Kabupaten Kota Baru.

Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kalsel Sukardhi bahkan berani memprediksikan, total produksi peti 10 persen lebih banyak lagi dibanding dengan data Arutmin. "Kami yakin produksi peti tiga tahun terakhir lebih dari 31 juta metrik ton," katanya.

Apakah data itu dibantah peti? Tidak. Asosiasi Penambang Rakyat (Aspera) yang di dalamnya juga mengakomodasi penambangan tanpa izin, mengeluarkan angka yang cocok dengan yang dikeluarkan dua institusi itu. "Kami perkirakan produksi peti dalam setahun ini mencapai 10 juta metrik ton," kata Ketua Umum Aspera Endang Kesumayadi yang didampingi Sekretaris Jenderal Aspera Muhammad Solikhin.

SALAH satu penyebab eksisnya peti adalah adanya pasar. Pasar itu tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga pasar luar negeri. Peti mengklaim, mereka memasok produksinya ke sejumlah pembangkit listrik di Pulau Jawa.

Arutmin sendiri memperkirakan, di Asia Pasifik ada peluang permintaan pasar 15 juta metrik ton batu bara setiap tahun yang tidak bisa dilayani oleh perusahaan tambang legal. Peluang itu diperkirakan bertambah terus setelah pasar ke China yang selama ini tidak bisa dilayani lagi.

Ketua Umum Aspera Endang Kesumayadi mengakui, saat ini permintaan pasar batu bara sangat tinggi dan tidak bisa disediakan sendiri oleh perusahaan besar pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

Permintaan pasar itu sebenarnya diimbangi dengan stok batu bara di Kalsel yang melimpah. "Sekarang cadangan batu bara di Kalsel lebih dari lima miliar ton," lanjut Muhammad Solikhin, Sekjen Aspera. Sementara produksi Kalsel setahun terakhir hanya 14.051.286 ton per tahun.

Potensi yang berlimpah dengan posisi lapisan batu bara di lapisan tanah permukaan mengakibatkan penambang cukup menggunakan metode terbuka (open pit). Hanya dengan menyingkap beberapa meter permukaan tanah, sudah bisa menemukan batu bara dengan ketebalan satu meter hingga delapan meter.

Dalam hal harga, peti memang lebih kompetitif daripada perusahaan legal. Harga per ton batu bara kalori rendah ditawarkan sekitar Rp 160.000, dan kalori tinggi berkisar 22 dollar AS sampai 30 dollar AS. Batu bara perusahaan legal untuk kalori rendah berkisar 22 dollar AS dan kalori tinggi 50 dollar AS.

Dinas Pertambangan dan Energi Kalsel pernah berupaya mempersempit pasar peti. Caranya dengan membuat daftar perusahaan tambang legal yang boleh dibeli batu baranya. Daftar itu kemudian dikirimkan ke Direktorat Pengusahaan Mineral dan Batu Bara di Jakarta, dan selanjutnya dikirim ke pabrik semen, pembangkit listrik, dan asosiasi logam dasar.

Namun, Aspera mengklaim bahwa peti masih memasarkan 25 persen produksinya untuk perusahaan-perusahaan dalam negeri, terutama ke pembangkit listrik tenaga uap. "Karena itu, stagnannya produksi peti akibat operasi polisi bisa mengganggu pasokan batu bara untuk pembangkit listrik Jawa Bali itu," kata Syamsul Daulah, Ketua Harian Aspera.

Klaim itu dibantah Sukardhi. Katanya, tak mungkin perusahaan besar mau mengambil batu bara dari peti.

APA yang diungkapkan Aspera bukan sekadar potret ketidakberdayaan para pejabat dan penegak hukum menghadapi peti. Lebih dari itu, fenomena peti yang diproklamasikan Aspera menjadi cermin betapa ketidakadilan distribusi sumber daya alam telah menciptakan benang kusut. Bukan menjadi rahasia lagi kalau para pejabat dari berbagai kalangan juga terjebak bermain dalam bisnis emas hitam ini.

Dalam setiap suksesi kepala daerah, mulai dari gubernur hingga bupati, sebagian dana segar berasal dari aktivitas tambang batu bara ini. Situasi sosial politik itu mendukung aktivitas peti ini.

Mulai dari gubernur dan bupati yang membolehkan jalan umum untuk angkutan batu bara, begitu mudahnya para penambang membuat stockpile (penampungan batu bara) dan pelabuhan khusus, hingga tidak adanya pengawasan terhadap persewaan alat berat yang digunakan menambang.

Jajaran Polri dan TNI juga tidak bisa dikatakan "bersih" dari keruwetan pertambangan batu bara di Kalsel. Aspera mengklaim, penambang rakyat harus memberikan uang taktis kepada aparat. Besarnya dana taktis itu bervariasi dan tidak bisa dipertanggungjawabkan, berkisar Rp 6.000 per ton.

Tentu saja pihak Kepolisian Daerah (Polda) Kalsel membantah sinyalemen Aspera itu. "Aspera saja kok dipercaya," begitu komentar seorang pejabat di Polda Kalsel.

Polda Kalsel boleh membantahnya karena Aspera sendiri memang mengakui Polda Kalsel di bawah kepemimpinan Brigadir Jenderal (Pol) Dody Sumantyawan HS ini memang sulit "dipegang" penambang. Namun, jabatan di bawah Kepala Polda hingga anggota di tingkat Kepolisian Sektor bisa "mendukung penambangan rakyat" itu.

Semakin beraninya Aspera mengungkap fakta-fakta peti memang mengejutkan berbagai pihak. Namun, fenomena itu justru semakin memperjelas posisi tuntutan para penambang rakyat yang selama ini tenggelam akibat tertelan isu legalitas dalam menambang.

"Peti sebenarnya memiliki legalitas dari kabupaten, selain itu dia juga membayar kewajiban kepada pemerintah kabupaten," kata Solikhin. Royalti dan dana reklamasi kepada pemerintah daerah itu berkisar Rp 6.000 sampai Rp 15.000 per ton.

Aspera juga mengungkapkan, dalam setiap penangkapan pelaku peti sebenarnya polisi juga tidak serius, terbukti hingga kini tidak ada yang sampai ke pengadilan. Sebagai gantinya polisi meminta uang jaminan Rp 30 juta hingga Rp 50 juta.

Kepala Bidang Humas Polda Kalsel Taufiq Sugiono dengan tegas membantah sinyalemen Aspera itu. Taufiq memberikan data, dari Januari sampai Mei 2004 Polda Kalsel telah menindak 31 kasus peti.

"Jumlah perkara selama tahun 2004 ini sampai 31 kasus, 25 kasus dalam tahap sidik, dua kasus dalam penyelidikan, dikirim ke jaksa dua kasus, masuk pengadilan dua kasus, dan vonis satu kasus. Jadi, persentasi penyelesaian kasus 19,35 persen," papar Taufiq.

Menghadapi manuver peti yang mendapat back up Aspera, Kepala Polda Kalsel Dody Sumantyawan HS berjanji tetap akan berjalan pada koridor hukum. Artinya, selama kegiatan penambang tersebut liar maka akan tetap ditindak.

Namun demikian, dalam pertemuan multipihak yang diselenggarakan Polda Kalsel beberapa waktu lalu, Dody tak bisa menyembunyikan kebingungannya. "Kami sudah berusaha menindak peti ini, tetapi ternyata di lapangan banyak yang keberatan dengan upaya Polda ini. Makanya, sekarang ini kami dalam situasi serba salah," katanya.

Aspera sendiri mengungkapkan akan tetap pada keyakinannya bahwa kekayaan alam yang terkandung di bumi Kalsel harus bisa dinikmati untuk kesejahteraan rakyat. Aspera juga berprinsip, tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Oleh karena itu, bagi penambang rakyat, batu bara adalah "barang Tuhan" yang harus dibagi rata kepada rakyat.

sumber: