Batu Bara Menjadi Andalan Indonesia untuk Hadapi Lonjakan Harga Minyak

KOMPAS, 8 April 2005. RAMALAN harga minyak mentah akan menembus 100 dollar AS per barrel benar-benar menakutkan semua negara, terutama Indonesia yang masih memberikan subsidi bahan bakar minyak kepada rakyatnya. Pemerintah akan segera memanfaatkan batu bara menjadi bahan bakar cair dan gas untuk mengurangi konsumsi BBM di dalam negeri yang setiap tahunnya naik sebesar 1,5 persen.

PEMAKAIAN batu bara di Indonesia memang lebih ekonomis dibandingkan dengan BBM karena harganya memang murah dan tak perlu subsidi pemerintah. Selain itu, cadangan batu bara Indonesia bisa digunakan selama 70 tahun, sementara cadangan minyak mentah Indonesia diperkirakan hanya akan mampu digunakan paling lama 10 tahun lagi.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro menegaskan, pemerintah sudah menyiapkan strategi untuk menggunakan batu bara dalam jumlah yang lebih banyak dalam rangka memenuhi kebutuhan energi di Indonesia. Produk batu bara yang akan menggantikan pemakaian BBM, antara lain batu bara yang dicairkan (coal liquefaction) dan gas metana batubara (Coalbed Methane/CBM).

Batu bara yang dijadikan cairan akan menggantikan sebagian dari pemakaian minyak tanah, bensin, dan solar. Gas metana batu bara untuk mengganti pemakaian gas rumah tangga atau industri.

RISET pencairan batu bara untuk memproduksi BBM sintetis di Indonesia sudah berlangsung sejak awal tahun 1990-an. Namun, perkembangannya secara nyata dengan target komersial baru dimulai sejak awal tahun 1994 melalui kerja sama riset antara BPPT dan NEDO.

Berbagai jenis batu bara Indonesia telah diuji dan memberikan hasil yang sangat menjanjikan. Hasil tertinggi diperoleh dari batu bara Banko dari Kabupaten Banko, Sumatera Barat, dengan produksi minyak sekitar 70 persen. Dibandingkan dengan batu bara Yallourn dari Australia yang hanya menghasilkan minyak di bawah 60 persen, hasil Banko sangat signifikan, terutama dilihat dari segi biaya dan harga minyak yang dihasilkan dari batubara.

Hasil studi kelayakan menunjukkan bahwa batu bara Banko dapat memproduksi BBM, produk setengah jadi, dengan harga sekitar 18 dollar AS per barrel. Melihat harga minyak pada saat ini, pencairan batu bara sangat memungkinkan untuk dikomersilkan.

CBM adalah sumber energi alternatif masa depan bagi Indonesia. Apabila dikomersialkan, produk itu memberikan manfaat karena Indonesia memiliki potensi cadangan CBM yang cukup besar.

Dalam masa satu dekade terakhir, penambangan produktif CBM secara komersial baru dilakukan di Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa Timur. Negara yang juga memiliki sumber deposit CBM antara lain, China, India, dan beberapa negara pecahan Uni Soviet di kawasan Asia.

Berdasarkan data Bank Dunia, daerah potensi CBM di Indonesia berada di Pulau Kalimantan dan Sumatera. Cadangan potensi total mencapai 453 triliun kaki kubik (trillion cubic feet/TCF). Sementara potensi sumber CBM terbesar terdapat di cekungan Sumatera Selatan, yakni sebesar 183 TCF dengan prakiraan nilai produktif minimal 20 TCF.

Potensi di pulau-pulau lain juga cukup menjanjikan, namun diperkirakan masih meragukan apakah cukup signifikan bila ditambang secara komersial. Hasil tambang CBM hampir seluruhnya atau 96-99 persen adalah senyawa gas metana dengan rantai karbon tunggal sehingga serupa dengan bahan bakar gas alam atau gas alam cair (liqufied natural gas/LNG).

Namun, sejauh ini belum dapat diperkirakan berapa biaya produksi dari CBM. Pada awal operasi, produksi CBM memang akan membutuhkan biaya yang relatif lebih besar karena karakteristik deposit yang berbeda dengan deposit gas alam konvensional.

Umumnya puncak produksi CBM hanya bisa dicapai setelah masa operasional dalam kurun waktu lima hingga tujuh tahun mendatang. Sementara gas alam dari tambang konvensional puncak produksinya bisa dicapai pada tahun pertama.

Tetapi, pada tahap operasional selanjutnya diperkirakan biaya produksi CBM lebih murah, yakni 0,03 dollar AS per juta kaki kubik dibandingkan dengan biaya produksi gas alam konvensional.

DALAM sejarah energi alternatif di Indonesia, sebenarnya penggunaan batu bara bukan ide baru bagi pemerintah. Sejak tahun 1993, pemerintah sebenarnya sudah membuat rencana untuk memakai briket batu bara sebagai pengganti minyak tanah untuk rumah tangga.

Praktisi batu bara, Ladjiman Damanik, mengemukakan, program pemanfaatan briket batu bara nasional telah dimulai sejak April 1993. Proyek percontohan itu dilaksanakan di tiga provinsi, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Tetapi, upaya promosi dan sosialisasi penggunaan briket batu bara tidak berjalan dengan baik. Hal itu karena sulitnya mengubah kebiasaan masyarakat dalam pemakaian minyak tanah yang hingga saat ini harganya sangat murah karena disubsidi pemerintah.

Masih lemahnya jalur distribusi dan tata niaga briket batu bara membuat pengusaha nasional tidak tertarik berkiprah dalam produksi briket batu bara. Namun, setelah ada rencana pemerintah mengurangi subsidi minyak tanah, Ladjiman mengaku tertarik mendirikan perusahaan yang khusus bergerak di bidang industri briket pada tahun 1993. Tetapi, kenyataannya hingga saat ini subsidi tidak dikurangi, malah semakin besar nilainya.

Pengembangan briket batu bara di Indonesia awalnya berkiblat pada Jepang, yang menggunakan teknologi maju untuk proses pembuatan briket batu bara dalam skala besar. Akan tetapi, untuk skala kecil di Indonesia, perusahaan produksi briket batu bara menggunakan teknologi yang sederhana.

Setelah industri briket batu bara tidak laku di sektor rumah tangga karena menghadapi masalah kebijakan harga BBM di dalam negeri, produsen secara perlahan mengubah orientasi pasar ke industri rumah tangga, kecil, dan menengah. Ternyata peluang cukup terbuka setelah pemerintah mulai memikirkan mengurangi subsidi BBM untuk industri.

Jika dihitung tingkat keekonomian, batu bara sangat murah dan memberikan penghematan biaya. Misalnya, untuk industri tahu tempe yang memakai briket batu bara untuk kapasitas rata-rata 100 kilo gram per hari bisa menghemat Rp 583.300. Hal itu jika harga minyak tanah eceran Rp 750 per liter dan briket Rp 400 per kilogram.

sumber: