Batu Bara, Antara Niscaya Dan Bencana (2) Belum Sentuh Efek Jera
Banjarmasinpos, 8 Juni 2004, BELUM hilang dari ingatan, di hadapan Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim pada saat ikrar memerangi Peti di Ruang VIP Bandara Syamsudin Noor, Gubernur Kalsel Sjachriel Darham mengeluhkan kebijakan para bupati yang mengobral izin KP.
Namun kenyataannya, itu hanyalah retorika karena saat bersamaan kebijakan gubernur ternyata pro kepada penambang batu bara. Kebijakan membolehkan angkutan batu bara melewati jalan umum merupakan salah satu kebijakan yang mendapat sorotan internasional.
Padahal di zaman Gubernur Hasan Aman, truk batu bara tidak bisa seenaknya melintas di jalanan umum. Hasan Aman menentang dengan keras, tapi kini Sjachriel mengebiri kebijakan itu.
Di kalangan pengusaha tambang batu bara, nama Aspera (Asosiasi Penambang Rakyat) cukup populer. Asosiasi ini merupakan kumpulan penambang pemegang kuasa pertambangan (KP) yang dikeluarkan bupati.
Selain itu, Aspera juga mengakomodasi para penambang rakyat yang tidak berizin. "Penambang rakyat lebih memberikan kontribusi kepada pemerintah daerah daripada perusahaan tambang besar," kata Endang.
Dengan bangga Endang mengatakan peti itu penambang terbaik Indonesia. Peti telah mengangkat derajat hidup masyarakat sekitar tambang yang selama ini terabaikan oleh tambang legal. Kontribusi tambang rakyat terhadap pendapatan daerah setempat juga lebih banyak dibanding penambang legal.
Pernyataan Endang Kusumayadi itu dibantah orang nomor satu di daerah ini. Gubernur Sjachriel Darham menilai keberadaan Aspera tidak mempunyai kontribusi sedikitpun terhadap pembangunan di daerah ini. Sjachriel melihat keuntungan hanya direguk oleh para pengurusnya saja.
Suatu ketika, Kapolda Kalsel Brigjen (Pol) Dodi Sumantyawan HS SH mengakui penegakan hukum dan peran pemerintah dalam mencegah terjadinya Peti belum efektif. "Kasus yang selama ini ditangani ke pengadilan belum mendapat vonis. Akibatnya belum menimbulkan efek jera," katanya.
Kebijakan pemerintah kabupaten melalui izin Kuasa Pertambangan (KP) juga tumpang tindih dengan izin yang dikeluarkan pemerintah pusat melalui Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B). Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 mengakibatkan ada dua instansi yang memiliki kewenangan mengeluarkan izin, yaitu Departemen Pertambangan dan Energi dengan Pemerintah Daerah setempat.
Uniknya, Pemprop Kalsel seolah menutup mata kalau bupati mengeluarkan izin KP. Pemprop Kalsel tidak bisa berbuat banyak.
Bahkan pemerintahan yang dikomandoi Gubernur Sjachriel Darham ini angkat tangan. Alasannya, kewenangan mengatur persoalan tambang berada di tangan pemerintah pusat.
Kepala Bappeda Kalsel, Syarifudin Baseri menjelaskan, sudah setahun lalu pemprop mengupayakan moratorium tambang batu-bara. Namun selalu kandas lantaran pemerintah pusat tidak serius menanggapi keinginan Pemprop Kalsel.
"Sebenarnya pembenahan tambang itu sudah kita usulkan setahun lalu. Bahkan draf moratorium itu sudah kami sampaikan ke Jakarta. Waktu itu kita minta SK Bersama Mendagri dan Mentamben. Tapi katanya menggunakan keppres. Kenyataannya sampai sekarang tidak ada tanggapan," tutur Syarifudin.
Lebih lanjut dikatakan, berbagai upaya yang dilakukan Pemprop ternyata mandul. "SKB dua menteri tidak ada, keppres juga tidak muncul-muncul. Sulit sekali mengatasi masalah tambang ini jadinya," ucapnya.
Moratorium, sambung Syarifudin, adalah harga mutlak untuk membenahi tambang. Selama moratorium dilangsungkan, pemerintah propinsi yang diberi kewenangan melalui dekonsentrasi akan melakukan penelitian terhadap tambang.
Kepala Badan Pengendali Dampak Lingkungan Hidup Daerah (Bapedalda) Kalsel Bambang Sartopo sejak awal juga mengkhawatirkan dampak peti tersebut. "Bekas tambang batu bara itu beracun karena itu harus direklamasi," katanya.
Perlu triliunan rupiah untuk mereklamasinya dan Kalsel tidak mungkin sanggup membayarnya. Maka digagas, tambang bawah tanah. Namun masih lima tahun lagi gagasan itu bisa direalisasikan