Batu Bara, Antara Niscaya Dan Bencana (1) Katanya Sih Peti Dimusuhi

 

Banjarmasinpos, 7 Juni 2004, SJACHRIEL Darham dikenal sebagai kepala daerah yang lihai berpidato. Hampir di setiap acara resmi--apalagi tidak resmi, teks pidato hanya dijadikan pelengkap. Ngomong tanpa teks, membuat ia lebih leluasa membahas berbagai topik. Tapi ada satu topik yang selalu jadi pilihannya, penambangan tanpa izin (Peti).

Pria bertubuh besar ini selalu garang jika bicara soal Peti. Sjachriel selalu berkoar ingin memberangus aktivitas ilegal tersebut. Alasannya, selain merugikan negara, juga merusak lingkungan hidup. Pendek kata, Sjachriel sangat memusuhinya.

Tapi anehnya, tak ada action dari orang nomor satu di Kalsel ini. Semua masih sebatas omong besar doang. Aktivitas Peti tetap marak. Malah lebih marak lagi dibanding sebelumnya. Hebatnya lagi, bupati dengan enteng mengeluarkan izin Kuasa Pertambangan (KP).

Penambangan tanpa izin muncul sekitar 1989. Pertama di sekitar Kabupaten Tapin, kemudian menyebar ke HSU, HST, HSS, Banjar, Tanah Laut dan Kotabaru. Dan kini makin marak terjadi di kabupaten pemekaran yang dipimpin Zairullah Ashar, Kabupaten Tanah Bumbu.

Dampak dari penambangan ilegal ini, disamping pelecehan peraturan perundang-undangan, hilangnya pemasukan keuangan ke negara/daerah, juga memicu persaingan tidak sehat dan kerusakan lingkungan.

Di ‘surga’ tambang Kecamatan Satui, Tanah Bumbu, para penambang batu bara baik legal maupun ilegal siang malam terus mengeruk kekayaan alam itu. Malam harinya, ratusan dan bahkan hingga ribuan truk berat pengangkut batu bara berjejal antri mengangkut ‘emas hitam’ di tepi jalan provinsi yang menghubungkan Banjarmasin dengan Batulicin, Tanah Bumbu.

Meski biasanya ditutup terpal, debu batu bara tetap berterbangan mengotori udara. Jalanan pun kian rusak karena lalu-lalang truk-truk itu yang bebannya tak lagi mampu ditahan lapisan aspal. Di antara ribuan truk itu, sebagian merupakan pengangkut batu bara dari Peti.

Peti di Kalsel memang berbaur dengan perusahaan legal, baik dalam menambang maupun mengangkut hasil tambang. Selain memanfaatkan jalan umum, Peti juga memanfaatkan jalan yang dibuat perusahaan resmi di daerah itu yaitu PT Arutmin Indonesia.

Peti kini memang sudah menjadi tetangga Arutmin yang setia di tiga lokasi penambangan yaitu Tambang Satui di Tanah Laut dan Tanah Bumbu, Tambang Batulicin di Tanah Bumbu, dan Tambang Senakin di Kotabaru.

Produksi Peti meningkat pesat. Kini per tahun mencapai 10 juta metrik ton, hanya terpaut 4 juta metrik ton dibanding total produksi Arutmin yang 14 juta metrik ton. Sebagian produksi Peti itu ditambang hanya beberapa meter dari kantor Arutmin. Padahal di tahun 1997 baru 2,7 juta ton, tahun 1998 mencapai 3 juta ton, dan tahun 1999 sampai September 3,5 juta ton.

Aktivitas Peti bukan lagi sembunyi-sembunyi, tapi sudah terang-terangan. Sebagai gambaran di tahun awal-awalnya muncul Peti, tercatat 238 lokasi dengan jumlah penambang sekitar 334 orang/pengusaha. Luas areal yang digarap mencapai 936 hektar dan alat berat yang digunakan ekskavator 297 buah dan 65 buldozer. Itu dulu, dan kini tentu lebih hebat lagi.

Aparat hukum di Kalsel, dalam hal ini Kepolisian Daerah (Polda) sebenarnya tidak tinggal diam. Dalam tahun 2004, tercatat 31 kasus Peti telah ditindak.

Alat berat seperti buldozer dan ekskavator yang nilainya miliaran rupiah disita. Secara rinci barang bukti itu adalah 118 Metrik Ton batubara, 46 ekskavator, 2 boldozer, 3 buah truk dan 3 buah tronton.

Lho, Peti kok menggunakan alat canggih?. Jangan heran jika aktivitas Peti menggunakan alat modern karena Peti bukan lagi dikerjakan rakyat kecil, tapi oleh sebuah perusahaan.

Peti, makin hari malah bertambah. Namun untuk melacaknya memang sangatlah ruwet. Jual beli dokumen batu bara, pemalsuan keterangan spesifikasi batu bara, areal KP tumpang tindih dengan tambang resmi PKP2B, penadahan batu bara Peti oleh perusahaan KP, serta penggelapan pajak dan royalti sudah menjadi nafas dalam praktek kotor bisnis batu bara.

sumber: