Bara’ di Tambang Batu Bara

Meia Indonesia, 12 Juni 2004 - PERSOALAN penambangan batu bara di Kab Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan kini menjadi rumit. Penambang legal, yang diwakili PT Arutmin Indonesia Tambang Satui harus ‘berhadapan’ dengan penambang tanpa izin (peti), yang bernaung di bawah payung Aspera (Asosiasi Penambang Rakyat). Aspera merupakan kumpulan penambang pemegang kuasa pertambangan (KP) dari para bupati.

Pihak Arutmin menyesalkan keberadaan peti, yang kapasitas produksinya melebihi PT Arutmin sendiri. Padahal, sebagian besar produksi peti berasal dari tiga areal tambang milik PT Arutmin. Sedangkan harga jual batu bara peti masih di bawah harga yang dipatok PT Arutmin, sehingga berpotensi ‘merusak’ pasar Arutmin.

Sementara itu, pihak Aspera menyatakan keberadaan peti justru membantu pasokan batu bara di pasar, salah satunya sejumlah pembangkit listrik di Pulau Jawa. Sebab, produksi Arutmin tidak mencukupi kebutuhan pasar yang semakin tinggi. Selain itu, dari sisi hukum, peti sebenarnya memiliki legalitas dari kabupaten, dan harus membayar kewajiban berupa royalti dan dana reklamasi sekitar Rp6.000-15.000 per ton. Masyarakat setempat juga mendukung peti karena warga mendapat fee sebesar Rp4.000 per ton untuk setiap lahan yang digarap peti.

Ketua Umum Aspera Endang Kesumayadi bahkan mengatakan penambang rakyat harus memberi dana taktis pada aparat, yang besarnya bervariasi, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Pernyataan ini tentu saja dibantah pihak Polda. Sinyalemen demikian mencuatkan kecurigaan adanya keterlibatan aparat pemda dan penegak hukum dalam proses penambangan liar, sehingga ada kesan peti dibiarkan merajalela.

Di sisi lain, menurut Aspera, berhak mengusahakan batu bara di Kalsel karena bagaimanapun kekayaan alam Kalsel harus bisa dinikmati rakyatnya.

sumber: