Bara Diambil, Hutan Pun Jadi Danau

Menyusuri Aktivitas Tambang Di Areal HTI (1)
Bara Diambil, Hutan Pun Jadi Danau

Banjarmasinpost, 17 Januari 2005

 

BEBERAPA pekan terakhir berita soal alih fungsi kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI) menjadi areal penambangan batu bara di Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), jadi topik yang cukup hangat dibicarakan berbagai lapisan masyarakat. Bagaimanakah kondisinya kini? Berikut tulisan bersambung wartawan BPost Anita K Wardhani yang baru saja menelusuri kawasan itu.

Menuju kawasan HTI di Kabupaten HSS seperti di Kecamatan Sungai Raya, Padang Batung dan Loksado, tidaklah susah. Apalagi saat ini, kawasan tersebut tidak pernah sepi dari aktivitas. Lalu lintas dan bisingnya deru truk pengangkut batu bara menjadi sebagian kecil pemandangan yang menggambarkan hiruk pikuknya kehidupan di areal pegunungan Meratus ini.

Bayangan akan hijau dan teduhnya pepohonan sama sekali tak tergambarkan di kawasan hutan areal HTI itu. Di Dusun Pipii Desa Batu Laki, Kecamatan Padang Batung misalnya. Sebagian lahannya telah dikeruk dan diambil batu baranya. Jejeran pepohonan yang semula ditanam oleh PT Dwima Intiga (patungan PT Dwima dan Inhutani III, Red) sudah tercerai-berai. Lahannya terkoyak-koyak digali, tanaman industri di atasnya nyaris habis dibabat.

Data di Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Hutbun) HSS, dulunya kawasan HTI yang juga hutan produksi itu, tampak rindang dengan tanaman akasia, sengon dan sederet tanaman lainnya. Sejak ditemukannya emas hitam, perlahan tapi pasti pepohonan yang berada di atasnya satu persatu ditebangi. Puluhan hektare lahan HTI dan hutan alam dikeruk batu baranya. Areal yang tersisa tanaman HTI-nya pun tinggal di dataran yang lebih tinggi.

"Anda bisa lihat sendiri kan perbedaannya antara kawasan pertambangan dan di sini," ujar Anshar Noor, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan HSS, sambil menunjuk hamparan hutan yang masih bisa diselamatkan.

Kawasan yang dulunya tumbuh subur akasia, sengon, kini sudah jadi danau-danau kecil. Ditinggal begitu saja tanpa ada upaya reklamasi atau penanaman kembali. Jika musim hujan tiba kawasan itu hanya jadi tempat bersarang nyamuk. Airnya tidak dapat dikonsumsi karena mengandung sisa-sisa batu bara.

Selain kerusakan hutan, dampak penambangan juga terlihat dari perubahan warna air. Ketika menyusuri Sungai Amandit, ada tiga warna air yang berbeda di sana, yang mengindikasikan adanya penurunan kualitas akibat tercampur larutan lumpur dan sisa-sisa galian batu bara.

Di seputar Gua Berangin, masih di kawasan HTI, air sungai tampak berwarna agak kehitaman. Di dekat kawasan itu, aktivitas lalu lintas emas angkutan batu bara cukup semarak. Agak jauh ke hulu, air sungainya lebih jernih, khas mata air pegunungan masih terasa.

Indikasi telah terjadi kerusakan lingkungan di kawasan HTI dibenarkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel, melalui Direktur Eksekutifnya Berry Nahdian Furqan.

"Secara umum kondisinya sama seperti pertambangan di Kalsel yang lainnya, sistem kuras habis dan minim ramah lingkungan," ujarnya.

Hutan Tanaman Industri (HTI) di kawasan HSS eksis sejak 1991 PT Dwima Intiga (DI) mendapatkan hak pengelolaan HTI di bumi Antaluddin dengan luas lahan 1.535 hektare dari Menteri

Kehutanan. Namun, perusahaan yang mendapatkan izin pengelolaan hutan melalui dana reboisasi (DR) dari pemerintah pusat sebesar Rp13 miliar pergi begitu saja tanpa kabar.

Hengkangnya PT DI ini kemudian memunculkan setumpuk permasalahan baru. Mulai kerugian negara akibat tidak dikembalikannya DR, persoalan seperti klaim lahan, dan penjarahan kayu yang tiada habisnya.

Berdasarkan data di Dishutbun HSS penambangan-penambangan kecil sudah ada sejak HTI itu dibuka. Seiring waktu, besarnya potensi emas hitam di kawasan itu berhasil menarik minat pengusaha lokal maupun dari luar berduyun-duyun mengajukan izin Kuasa Penambangan (KP) melalui pemda, pemprop, maupun Perjanjian Kontrak Penambangan Batu Bara (PKP2B) melalui Departemen Pertambangan Dan Energi (Deptamben) di Pusat. PT AGM akhirnya keluar sebagai pemenang dan satu-satunya pemegang PKP2B yang arealnya meliputi Kabupaten Banjar, Tapin, HSS dan HST.

Menurut Kepala Distamben HSS Riswandi, PT AGM pemegang PKP2B di empat kabupaten itu, menggarap lahan seluas 12.000 Ha. Seluas 55 persen di antaranya berada di HSS. "Termasuk seluas 909.000 Ha di lahan HTI milik PT DI dan 3 Ha di kawasan hutan produksi," katanya.

PT AGM yang telah melakukan persiapan penambangan sejak tahun 1994, secara resmi mulai memulai eksploitasi di HSS dan memasuki kawasan HTI milik PT DI yang berada di areal PKP2B-nya pada 23 Mei 2003. Namum aktivitas mereka harus dihentikan.

Bupati HM Safii pada tahun 2003, mengeluarkan kebijakan moratorium (penghentian sementara) semua aktivitas penambangan di daerahnya. Alasan Safii kontribusi penambangan batu bara bagi daerahnya sangat minim, sementara kerusakan lingkungan semakin parah.

sumber: