Awal yang Bagus untuk Industri Timah

Awal yang Bagus untuk Industri Timah

Langkah pemerintah yang mengatur ekspor timah merupakan langkah awal yang bagus untuk mengatasi kemelut yang selama ini terjadi di industri timah. Pemerintah harus bersikap tegas dan tidak boleh ragu untuk menegakkan aturan yang ada karena hal tersebut terbukti menguntungkan negara.

Kebijakan pemerintah yang mengatur ekspor timah berdampak positif terhadap industri timah dalam negeri dan global. Harga timah dunia mengalami peningkatan dan sempat mencapai tingkat 12.835 dollar AS per metrik ton pada tanggal 14 Februari 2007.

Peraturan Menteri Perdagangan No. 04/M-DAG/PER/1/ 2007 yang berlaku sejak 23 Januari 2007 menetapkan bahwa yang dapat melakukan ekspor timah hanyalah eksportir terdaftar yang memiliki izin dari Departemen Perdagangan. Izin tersebut dapat diperoleh dengan memenuhi beberapa persyaratan, antara lain melampirkan nomor pokok wajib pajak (NPWP). Kewajiban melampirkan NPWP ini memberikan implikasi kewajiban pembayaran pajak dan royalti atas timah yang diekspor.

Hal itu dapat merupakan biaya tambahan bagi pemilik smelter independen. Selama ini telah diketahui secara umum bahwa para pemilik smelter independen diduga kuat tidak membayar pajak dan royalti.

Selain itu, kandungan timah yang diekspor juga harus memenuhi ketentuan minimal sebesar 99,85 persen, yang merupakan standar internasional. Ketentuan ini mungkin tidak akan sulit dipenuhi, meskipun rata-rata kualitas yang dihasilkan 92 persen, karena beberapa smelter independen tersebut sudah ada yang berhasil menghasilkan produk dengan kualitas tersebut.

Hal yang krusial adalah para smelter diwajibkan untuk memiliki izin kuasa pertambangan (KP) atau memiliki kerja sama dengan para pemegang KP. Saat ini, di samping PT Timah dan PT Koba Tin, ada beberapa pihak yang memiliki KP, tetapi dengan lahan dan jumlah cadangan timah yang tidak besar. Hal ini berarti bahwa untuk memperoleh bahan baku bijih timah yang legal dan dalam jumlah yang memadai akan menjadi problem tersendiri bagi smelter independen. Akan dilibatkannya surveyor sebelum timah diekspor juga diharapkan dapat memberikan suatu "rasa aman" bahwa semua persyaratan telah dipenuhi.

Peraturan yang baru ini diperkirakan akan dapat mengubah komposisi negara pengekspor timah di Asia maupun dunia. Beberapa data menunjukkan bahwa dua negara penghasil bijih timah terbesar di Asia adalah China (50 persen) dan Indonesia (47 persen), sedangkan negara produsen timah logam di Asia dikuasai oleh China (50 persen), Indonesia (27 persen), Thailand (11 persen), Malaysia (8 persen), dan lainnya (4 persen). Timbul pertanyaan, bagaimana mungkin Malaysia dan Thailand yang hanya memproduksi bijih timah dalam jumlah sedikit dapat menjadi salah satu negara penghasil timah logam dalam jumlah yang cukup besar?

Malaysia dan Thailand diduga mendapatkan bahan baku dari Indonesia, dan bukan dari China karena faktor jarak lokasi. Terdapat dua kemungkinan, Malaysia dan Thailand mendapatkan bijih timah dari Indonesia atau Malaysia dan Thailand mengolah kembali timah yang berkadar rendah sebelum dijual kembali. Kemungkinan yang pertama sepertinya sulit terjadi karena Pemerintah Indonesia telah secara resmi melarang ekspor bijih timah sejak tanggal 1 Juni 2002. Yang lebih mungkin terjadi adalah smelter independen di Indonesia mengekspor timah dengan mutu yang tidak terlalu tinggi untuk diproses kembali di luar negeri.

Selain kehilangan pendapatan pajak dan royalti, negara juga dirugikan karena nilai tambah dari industri timah tidak diciptakan di dalam negeri. Dengan adanya peraturan baru ini, smelter di luar negeri diprediksi akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan bahan baku.

Koba Tin 

Pemerintah juga telah mengambil tindakan tegas terhadap PT Koba Tin yang sahamnya dimiliki Malaysia Smelting Corporation (75 persen) dan PT Timah (25 persen). Koba Tin merupakan perusahaan timah terbesar kedua di Indonesia dengan produksi 20.000-25.000 metrik ton. Kalau ditelaah lebih lanjut, sebenarnya terdapat keganjilan pada Koba Tin karena hanya sekitar 16 persen dari kebutuhan bijih timah tahunan yang dipenuhi oleh internal Koba Tin, sedangkan sisanya (84 persen) diperoleh dari para penambang inkonvensional yang diduga telah melakukan aktivitas penambangan di luar wilayah konsesi Koba Tin.

Hal ini merupakan suatu pelanggaran terhadap kontrak karya karena sebuah perusahaan tambang dilarang melakukan kegiatan operasi di luar wilayah konsesi yang telah disepakati. Selain itu, Koba Tin juga diduga berada di balik kerusuhan yang terjadi di Kantor Gubernur Bangka-Belitung pada bulan Oktober 2006 setelah pihak kepolisian menutup smelter independen yang tidak memiliki izin.

Walaupun pada tataran kebijakan pemerintah masih bersikap hati-hati atau bahkan cenderung ragu-ragu, pada tataran operasional pihak kepolisian telah mengambil tindakan yang lebih agresif dan tegas, antara lain menyita beberapa kontainer timah milik Koba Tin yang siap diekspor dan menahan tiga anggota direksi Koba Tin. Hal itu sepertinya efektif untuk menimbulkan efek jera karena Koba Tin tidak lagi membeli bijih timah dari penambang inkonvensional dan pihak Malaysia Smelting Corporation menyatakan keadaan force majeure. Jika Koba Tin mengurangi pembelian dari penambang inkonvensional, kami memperkirakan bahwa produksi timah logam Koba Tin akan merosot menjadi 10.000 metrik ton.

Meskipun demikian, pemerintah tetap harus mengeluarkan peraturan atau keputusan untuk menangani pelanggaran yang dilakukan oleh Koba Tin. Pemerintah tidak boleh ragu untuk mengambil tindakan tegas, apalagi jika disertai dengan kekhawatiran bahwa tindakan tersebut akan dapat melanggar kontrak karya dengan Koba Tin. Peraturan ini juga penting untuk menopang tindakan operasional dan juga untuk memulihkan kewibawaan pemerintah yang selama ini terkesan tutup mata dengan pelanggaran yang dilakukan oleh Koba Tin.

Dampak positif 

Peraturan baru pemerintah dan tindakan tegas yang diambil terhadap Koba Tin kami perkirakan akan menyebabkan pasokan timah logam dunia berkurang sekitar 20 persen. Kekosongan pasokan dari Indonesia ini juga diperkirakan tidak akan dapat ditutupi oleh China karena China telah menegaskan akan mengurangi ekspor sebesar 10 persen karena kebutuhan dalam negeri yang besar, apresiasi mata uangnya, dan pajak ekspor yang tinggi. Pada akhirnya harga timah dunia akan dapat mengalami kenaikan lagi yang akan menguntungkan PT Timah.

Harga saham PT Timah sendiri telah mengalami peningkatan luar biasa, yaitu menjadi Rp 8.800 per lembar saham, sebagai akibat kenaikan harga timah dunia. Jika dibandingkan dengan harga penutupan terendah saham PT Timah pada bulan November 2002 sebesar Rp 280, berarti harga saham PT Timah menjadi 30 kali lipat. Sebagai pemegang 65 persen saham PT Timah, kekayaan pemerintah juga telah meroket menjadi sebesar Rp 2,9 triliun. Pemerintah juga berpeluang untuk mendapatkan pajak dan royalti sebesar Rp 180 miliar dari para smelter independen yang mengekspor timah logam.

Langkah pemerintah yang telah mengeluarkan aturan mengenai ekspor timah logam merupakan suatu langkah maju yang positif. Meskipun demikian, agar lebih efektif, pemerintah harus mengambi langkah yang lebih komprehensif.

Pertama, menertibkan aktivitas penambangan inkonvensional meskipun aktivitas tersebut mungkin akan berkurang secara signifikan setelah peraturan tentang pembatasan ekspor timah logam dikeluarkan. Hal ini diperlukan agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.

Kedua, mencari cara untuk mengatasi kerusakan lingkungan yang telah ditimbulkan oleh aktivitas penambangan inkonvensional.

Ketiga, menerapkan sanksi yang tegas terhadap pelaku penambangan ilegal dan pihak-pihak yang berada di belakangnya. Keempat, menegakkan aturan yang ada.

Peraturan tentang ekspor timah logam, meskipun belum bersifat komprehensif, diharapkan dapat memberikan dampak yang positif kepada industri timah dan negara. Kerusakan lingkungan dan kerugian negara dari tidak dibayarkannya pajak dan royalti diperkirakan akan berkurang. Selain itu, kekayaan negara melalui kepemilikan saham pada PT Timah juga akan mengalami peningkatan.

sumber: