Asosiasi Tetap Minta PE Tidak Diberlakukan
BATUBARA
Asosiasi Tetap Minta PE Tidak Diberlakukan
Suara Karya, 1 November 2005
ÂÂ
ÂÂ
"Secara konsep, pengenaan pajak ekspor ini salah," kata Ketua APBI, Jeffrey Muljono ketika dihubungi kemarin. Pernyataan tersebut menanggapi penawaran alternatif yang diberikan pemerintah, menyangkut pengenaaan pajak ekspor tersebut.
Menurut Jeffrey, APBI telah menyatakan keberatan, selain juga menyampaikan masukan kepada pemerintah sebelum PE ditetapkan. Namun dia mengatakan kecewa sikap pemerintah yang tidak memerhatikan aspirasi pengusaha pertambangan.
Jeffrey menilai penetapan PE lahir akibat adanya perbedaan persepsi di bagian pengurusan pajak untuk barang yang kena pajak dan tidak kena pajak. "Di semua negara barang pertambangan tidak ada yang dikenai pajak ekspor," ujarnya.
Dia yakin, pendapatan pemerintah sudah jauh lebih besar dari pajak yang harus dikeluarkan para pengusaha pertambangan lewat kontrak yang sudah ada.
Sebelumnya, Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral Departemen ESDM, Simon Sembiring, telah meminta masukan alternatif dari kalangan pelaku usaha pertambangan.
Beberapa alternatif yang diminta dikaji kembali oleh asosiasi adalah bahwa PE tidak berlaku untuk perusahaan tambang yang menandatangani perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) generasi pertama.
Dalam katagori tersebut terdapat 11 perusahaan tambang, di antaranya Kaltim Prima Coal, Adaro dan Arutmin. Ke-11 perusahaan itu menguasai 70 persen ekspor batu bara
Alternatif kedua, semua perusahaaan terkena pungutan, namun perusahaan pemegang PKP2B generasi pertama akan menerima penggantian. Ketiga, pemerintah menentukan batas harga batu bara yang akan dikenakan PE dan berlaku di semua PKP2B. Sedangkan alternative keempat, besaran PE dikurangi dan berlaku di semua perusahaan pemegang PKP2B.
Menurut Simon, semua masih bisa dinegosiasikan.
Dirjen Geologi Departemen ESDM Simon Sembiring menyatakan tidak ada harga mati. "Semua masih bisa dinegosiasikan. Asalkan, semua dilakukan atas kesepakatan kedua belah pihak," kata dia kemarin.
Jeffrey mengakui, pihaknya telah diminta pemerintah untuk membujuk anggotanya yang masuk dalam kontrak PKP2B generasi I untuk menerima ketetapan PE kurang dari 5 persen. "Tapi ini,
Menyangkut alternatif yang dikaji, ia berjanji setelah Lebaran ini akan membahas kembali alternatif tersebut dengan pemerintah, sehingga untuk saat ini pihaknya belum bisa menjelaskan lebih lanjut.
Simon menyatakan, bila didapat kesepakatan bahwa ada pengurangan besaran PE, Permenku No 95/PMK/02/2005 yang mengatur tentang PE komoditas tertentu akan direvisi lagi.
Ia menambahkan, pemerintah akan mengkaji apakah pengurangan besaran PE batubara bagi semua perusahaan tambang akan membuat negara memperoleh tambahan penerimaan lebih besar, ketimbang PE dikenakan
"Kalau perusahaan asing tidak terkena, potensi penerimaan PE batubara ini sebesar Rp 320 miliar per tahun. Namun kalau semua perusahaan terkena aturan, tetapi besarannya dikurangi, belum jelas berapa penerimaan yang akan kita dapatkan." ujar dia.
Menurut Simon, kalau diambil opsi pengurangan PE dan berlaku bagi semua perusahaan tambang, maka pengenaan PE terhadap perusahaan tambang batu bara generasi pertama tidak menyalahi aturan. Menurut dia, dalam kontrak juga disebutkan bahwa pasal-pasalnya masih bisa direvisi bila terjadi kesepakatan bersama. sumber: