APBI minta pemerintah revisi PP no 144/2000

  
Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) mendesak pemerintah segera merealisasikan revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 144 tahun 2000 tentang jenis barang dan jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pasalnya, masalah yang kemudian muncul pasca dikeluarkannya PP 144, yakni tertahannya royalti dan pajak penjualan batubara oleh para kontraktor pertambangan, yang diperkirakan mencapai Rp 1,7 triliun.

Demikian Direktur Eksekutif APBI, Bambang Susanto kepada harian Suara Pembaruan di Jakarta, beberapa waktu lalu. Pembahasan mengenai implikasi PP 144 telah dimulai sejak tahun 1999, sebelum peraturan itu dikeluarkan.

Sejauh ini pemerintah sudah menunjukkan perhatian untuk menyelesaikan masalah ini, termasuk membentuk tim ahli independen yang diharapkan bisa memberi masukan objektif apakah benar batubara mengalami proses produksi sejak mulai ditambang hingga menjadi produk sehingga bisa dikenai pajak.

"Masukan tim sudah jelas bahwa batubara melalui proses produksi sehingga harus dikenai pajak. Asosiasi memang ingin ketentuan itu kembali seperti semula, batubara adalah barang kena pajak. Karena itu, kita berharap pemerintah segera merevisi PP 144. Aturan itu sangat mengganggu perusahaan pertambangan, katanya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, semula batubara termasuk komoditas yang kena pajak, namun setelah terbit PP 144 menjadi barang yang bukan kena pajak. Ketentuan baru itu, dirasakan justru merugikan perusahaan karena tidak bisa meminta penggantian (restitusi) atas pajak yang dibayarkan.

Sementara, dalam kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) generasi I, misalnya yang dimiliki PT Kaltim Prima Coal (KPC) dan PT Arutmin, jelas disebutkan bahwa kontraktor memiliki hak meminta restitusi kepada pemerintah setelah membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang merupakan pajak baru di luar pajak yang ditetapkan dalam PKP2B.

Sedangkan, untuk perusahaan kontraktor generasi II mendapat tambahan biaya produksi sebesar 8-10 persen karena tetap wajib membayar Dana Hasil Produksi Batubara (DHPB), juga membayar penuh PPN.

Kebijakan itu, katanya, tentu saja memberatkan perusahaan batubara. Asosiasi sangat berharap pemerintah segera merevisi PP 144. Sekarang semua masukan yang berkaitan dengan revisi itu sudah sampai di Sekretariat Negara, tinggal menunggu pembahasan di Sidang Kabinet. Sebaiknya, pemerintah segera menyelesaikan revisi PP 144.

Bila kini sejumlah kontraktor tambang memotong sendiri atau menahan pembayaran DHPB sebesar 13,5 persen sejak tahun 2001 hingga 2003, itu karena kebijakan yang diatur dalam PP 144 dinilai memberatkan.*

sumber: