Antara Keunikan dan Kehancuran Ekosistem
Antara Keunikan dan Kehancuran Ekosistem Oleh: GESIT ARIYANTO Salah satu keunikan alam yang ditemui tim Ekspedisi Wallacea Indonesia 2005 adalah potensi gas alam di kawasan yang disebut masyarakat sebagai Tanjung Api, tepatnya di Kecamatan Ampana, Kabupaten Tojo Una Una, Sulawesi Tengah. Ini sekitar 30 menit perjalanan laut menggunakan perahu berkecepatan 10,5 tenaga kuda (PK) dari dermaga Ampana Kota. Masyarakat nelayan sekitar sering kali singgah di Tanjung Api sekadar beristirahat sambil memasak nasi, air, dan keperluan logistik lainnya. Dan, semua dilakukan tanpa perlu korek api! Cukup mengorek tanah sudah keluar api, kata Kepala Desa Tete B, Kecamatan Ampana Tete, Tojo Una Una, Bahtarim (50). Api tanpa pemantik? Benar saja. Ketika tim ekspedisi mengunjungi Tanjung Api, tim membuktikan cerita warga dengan mengorek tanah menggunakan kayu seadanya lalu keluarlah api. Lazimnya api dari kompor gas. Kurang dari 30 menit, 20 telur ayam matang direbus. Bahkan, ketika rekahan tempat keluarnya gas yang dikorek semakin dalam dan luas, api yang keluar sulit dimatikan sehingga harus disiram air dan ditimbun pasir. Di lokasi yang sama, seiring dengan embusan angin laut yang kencang, dinding batuan bertipe campuran (melange) yang berdiri kokoh berjarak sekitar sepuluh meter dari bibir pantai mengeluarkan suara bergemuruh, seperti jilatan lidah-lidah api tertiup angin. Hanya saja, tidak terlihat wujud api dan tak terasa panas. Tak jauh dari situ, di permukaan laut yang bening, gelembung-gelembung udara yang keluar dari perut bumi tampak seperti air mendidih di beberapa tempat. Hanya saja, air tetap dingin. Tepat di rekahan itu, padang lamun tidak tumbuh. Gelembung-gelembung udara menghadirkan fenomena alam fantastis. Ujung bambu bagian atas yang diletakkan berdiri mengeluarkan api begitu korek api disulut. Meski mulut bambu bagian bawah �tepat di celah rekahan gas alam� juga mengeluarkan api begitu korek api disulut, bambu tidak turut terbakar. Di bibir pantai ditemui fenomena serupa. Kali ini sulutan korek api disambar gas alam yang keluar dari lubang kecil tempurung kelapa yang diletakkan di sebidang kecil mata air tawar bergelembung udara. Api pun menyala di lubang tempurung, mati begitu saja ketika tempurung diangkat. Menurut Jabara (60), warga asli Desa Tete B, Kecamatan Ampana Tete, Kabupaten Tojo Una Una, fenomena alam seperti itu telah ia ketahui sejak kecil. Akan tetapi, hingga kini penduduk desa belum juga tahu persis apa yang terjadi sesungguhnya. Meskipun nelayan sering kali singgah, mereka tidak mengerti apakah gas tersebut berbahaya. Dari dulu saya sering ke sini, bahayakah gas itu buat kami? kata Bahtarim (50), nelayan Desa Tete B. Ia merasa sehat-sehat saja. Gas alam Berdasarkan analisis sementara tim geologi tim Ekspedisi Wallacea Indonesia (EWI) 2005 dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), gelembung-gelembung udara dari rekahan permukaan bumi itu merupakan gas alam. Bila fenomena tersebut benar cadangan gas alam, maka pemanfaatannya tinggal menunggu kepastian potensi eksplorasi. Untuk memastikan jenis gas, beberapa sampel batuan dan gas kromatografi yang diambil dari lokasi sedang dianalisis lebih lanjut di laboratorium Lemigas. Perkiraan sebelumnya, gas tersebut merupakan magma yang berasal jauh di dalam perut bumi. Dugaan muncul karena posisi Tanjung Api, berdasarkan pengukuran global positioning system (GPS), segaris tepat nol derajat di selatan Gunung Colo yang masih aktif. Dugaan kuat keberadaan gas alam didukung karakteristik dasar Teluk Tomini, yang salah satunya ditemukan cekungan Gorontalo. Hasil ekspedisi DKP, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan lembaga penelitian Australia Csiro tahun 2001 lalu mengidentifikasikan, ketebalan sedimen cekungan Gorontalo 500 meter. Kedalamannya lebih dari 1.000 meter. Keberadaan sedimen di cekungan, ditambah karakteristik bawah laut Teluk Tomini, mengindikasikan potensi cadangan gas alam. Namun, masih butuh penelitian seismik lebih lanjut untuk menentukan lapisan bawah lautnya, kata geolog BRKP Ahmad. Selain potensi gas alam, tim juga menjumpai degradasi lingkungan pesisir dan lautan di beberapa kawasan. Terumbu karang Hasil penelitian tim terumbu karang menampilkan dua wajah. Dari sembilan titik penyelaman di tiga desa menunjukkan kerusakan. Selain karena bom ikan, kerusakan juga terkait dengan perburuan teripang dengan mencongkel terumbu karang. Secara umum kondisinya buruk hingga sedang, tidak ada yang bagus, kata peneliti terumbu karang BRKP Abdus Sakur. Padahal, potensi alam dan laut mendukung pertumbuhan terumbu karang dan perkembangbiakan biota laut. Akan tetapi, di antara kerusakan itu ditemui keunikan, seperti gugusan atol di perairan Tete B dengan diameter sekitar 25 meter di kedalaman tujuh meter. Atol selama ini dikenal sebagai tempat pemijahan ikan hias, ikan karang, dan teripang yang bernilai komersial. Di perairan Desa Peore, Kabupaten Parigi Moutong, terumbu karang ditemukan tumbuh vertikal. Lazimnya, terumbu karang tumbuh melebar. Sayangnya, kondisi air keruh karena di muara sungai. Tumbuh vertikal mungkin karena adaptasi alam dan mencari cahaya matahari, lanjut Sakur. Keunikan lain adalah karang seperti acropora berwarna hitam. Terumbu karang umumnya kecoklatan dan kemerahan. Sakur mengaku baru pertama kali melihat warna hitam sepanjang pengalamannya menyelam, yang kini sedang diidentifikasi jenisnya. Untuk biota laut, tim terumbu karang mengidentifikasi banyaknya spons sebesar paha orang dewasa. Sebarannya mulai dari Tete B, Podi, hingga Kepulauan Togean. Umumnya, ukuran spons hanya sebesar jari orang dewasa. Kecepatan arus laut yang membawa plankton�makanan utama spons�diduga kuat memicu banyaknya sebaran spons besar di Teluk Tomini. Menurut Sakur, para peneliti luar, khususnya dari Jerman, rajin meneliti spons sebagai obat antikanker. Keberadaan spons besar di Teluk Tomini menjadi kekhasan yang belum diketahui umum. Sayangnya, keunikan alam bawah laut Teluk Tomini terus terancam dengan cara eksploitasinya yang tidak ramah lingkungan. Sementara pengawasan di lapangan masih kurang memberi efek jera. Perlu identifikasi Mengenai maraknya pengeboman ikan yang merusak ekosistem terumbu karang, tim EWI 2005 menemui kesulitan mengidentifikasinya. Setiap nelayan yang ditanya selalu melempar ke kelompok lain. Ujung-ujungnya balik ke kelompok yang pernah diwawancarai sebelumnya, kata peneliti EWI 2005 bidang sosial ekonomi di kawasan Walea Kepulauan, Togean. Camat Walea Trianto Day mengakui kerusakan terumbu karang dan ekosistem mangrove di wilayahnya. Padahal, sebelumnya masyarakat memiliki kearifan tradisional menjaga terumbu karang, menangkap ikan, dan menebang pohon. Pendek kata, lingkungan akan selalu terjaga meskipun dieksploitasi. Kalau sekarang sebagian masyarakat cenderung merusak sumber daya alam, pasti ada intervensi yang merusak tatanan struktur sosial. Ini yang menurut saya juga perlu diteliti, katanya. Membahas keunikan dan kerusakan di pesisir Teluk Tomini, ada yang tampak jelas. Memasuki Kecamatan Tojo, Kabupaten Tojo Una Una, lereng perbukitan di tepian pantai yang dilintasi jalur trans-Sulawesi menebar ancaman. Bongkahan batu dan pasir dipotong dengan kemiringan lereng 75-85 derajat tanpa pembatas longsoran. Abrasi pun parah sepanjang 500 meter di sepanjang pesisir pantai Banano, Kecamatan Tojo, Kabupaten Tojo Una Una. Ekosistem mangrove hancur sehingga abrasi tak terhindarkan. Jalur trans-Sulawesi pun terpaksa digeser karena jalur lama longsor dihajar abrasi. Kawasan Desa Podi pun sama. Hamparan lahan seluas 1,5 hektar tampak dipenuhi pasir kering akibat banjir bandang rutin. Jalur trans-Sulawesi terpaksa macet total karena ruas jalannya berubah menjadi sungai saat hujan tiba. Di sisi lain, potensi mineral batuan galian C seperti kerakal, kerikil, dan pasir hampir tak tersentuh sama sekali, padahal bernilai ekonomi tinggi. Di Teluk Tomini, para peneliti menjumpai keunikan sekaligus kerusakan ekosistem yang serius. Namun, potensi besar juga tengah menunggu.
sumber: