Ada Peti, Ada Rugi?
Ada Peti, Ada Rugi?
Banjarmasin PostMinggu, 16 Oktober 2005 12:43:24
KASUS
Konon, angka kerugian akibat peti itu mestinya jauh lebih besar karena berdasarkan pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) negara kehilangan royalti Rp500 miliar hanya di satu kabupaten di Kalsel. Padahal KPK mengasumsikan beberapa kabupaten di Kalsel memiliki keterkaitan dengan soal royalti batu bara itu.
Benarkah semua angka taksiran kerugian negara itu? Wallahualam.
Kita kali ini tidak bicara soal kerugian negara akibat royalti tak tersetorkan ke kas negara. Mengapa? Karena kalau bicara soal menyetor dana ke kas negara, --entah royalti, pajak, atau apapun namanya--, umumnya rakyat tidak tahu persis bagaimana hitungannya. Kurang atau lebih? Sampai utuh atau bocor di tengah jalan? Untuk gampangnya, saran cuma satu: "Percaya saja deh."
Kasus peti di Kalsel itu jadi menarik karena dua hal. Pertama, ternyata sejumlah pejabat daerah terlibat dalam kebijakan yang ‘melegalkan; peti. Bahkan konon, ada bupati yang terancam akan jadi tersangka. Wah bisa rame nih. Bisa rame membela diri, atau rame karena ada oknum yang ‘bernyanyi’ (baca: membuka rahasia) sehingga terbongkarlah tabir persekongkolan jahat yang terjadi.
Kedua, ternyata kasus peti baru bisa diangkat sebagai perkara hukum manakala ‘orang pusat’ yang turun tangan. Lha, iya. Orang di daerah sudah lama tahu segala hal ihwal tentang peti. Siapa pelakuknya. Siapa bekingnya. Siapa yang dapat untung. Siapa yang buntung. Siapa fasilitatornya. Bagaimana jalur pemasarannya. Dan seterusnya.
Saya memang sengaja tidak ikut-ikutan menilai kerugian negara dari kasus peti hanya dari unsur royalti yang tak terbayarkan ke kas negara. Alasannya, namanya juga ilegal, tentu tidak relevan kalau kita membahas kewajiban-kewajiban yang semestinya melekat pada usaha legal. Pada sisi lain soal royalti itu sebenarnya hanya soal sumber pendapatan negara yang mestinya ada dan ternyata tidak ada.
Sedangkan kerugian di sektor itu sebenarnya tidak sebanding dengan kerugian lain berupa rusaknya bentang alam karena pola eksploitasi batu bara yang semau gue yang dilakukan pelaku peti. Cobalah tinjau wilayah tambang peri. Amburadul nian. Dan hal itu kasat mata!
Sekain tahun yang lalu Walhi Kalsel pernah mempublikasikan perhitungan nilai kerugian akibat perilaku peti di Kalsel. Ungkapan yang digunakan ketika itu adalah ‘mengerikan’. Tetapi hingga berbilang tahun, informasi ‘mengerikan’ itu tidak pernah terdengar ditindaklanjuti oleh penguasa daerah dengan misalnya menata pelaku peti agar sedikit batata dan jangan talalu kuluh.
Secara kasat mata pula akibat peti telah dirasakan oleh masyarakat luas, terutama mereka yang menggunakan jalur jalan raya propinsi di wilayah Tapin dan Tanah Bumbu. Jalan raya rusak berat, karena saban siang malam dilewati oleh ratusan truk gajah bertonase belasan ton. Ekonomi rakyat terganggu dan sejumlah warung di pinggir jalan sering terpaksa tutup karena pemiliknya tak sanggup tersiram debu tanpa henti.
Pemborosan energi terjadi, karena antrean mobil umum dan pribadi yang sangat panjang, karena terganggu macet menyebabkan bahan bakar lebih banyak dihabiskan. Belum lagi kalau ada yang mengaku terkena ISPA karena paparan debu. Dan sebagainya.
Berapa nilai kerugian masyarakat atas dampak peti macam itu?
Saya tidak pandai menghitungnya. Karena itu, jangan berpikir saya bisa memberikan angka perhitungannya.
Tetapi, yang ingin saya garis bawahi adalah, dampak peti itu sebenarnya sudah lama dirasakan oleh masyarakat Kalsel dan mestinya sudah diketahui oleh para pejabat daerah yang berwenang. Pertanyaannya, mengapa mereka selama ini seolah-olah tak merasakan hal itu sebagai sebuah masalah publik yang seharusnya menjadi tanggungjawabnya?
Pada sisi lain, mengapa pula masyarakat kita cuma bisa ngomel, mendumel dan sejenisnya, yang notabe ‘nggak ngaruh’ terhadap perubahan pelaku peti. Bahkan di beberapa lokasi ada sejumlah warga yang justru memanfaatkan kerusakan jalan dan paparan debu sebagai alasan untuk membuka pos sumbangan pihak ketiga alias melakukan pungutan liar tetapi terang-terangan kepada para sopir truk batu bara.
Runyamnya, menurut informasi yang boleh untuk tidak dipercaya, para pelaku peti justru kalau tidak dijadikan ‘sapi perah’ sering dipaksa untuk jadi ‘dermawan’. Betapa tidak, mereka sering menerima proposal sumbangan dan sejenisnya untuk pembangunan langgar, mushala, masjid, anu dan itu.
Jadi kalau menggunakan istilah anak muda sekarang, so what gitu lho?
Kita harus menyalahkan siapa untuk hal apa?
penambangan ilegal (illegal mining) alias peti di Kalsel periode 2003-2004 mengakibatkan kerugian negara Rp2 triliun per tahun. Demikian penegasan Deputi Operasi Mabes Polri, Irjen Didi Widayadi, merujuk hasil kajian Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (BPostm 13/10). sumber: