’Pemerintah Baru Agar Selesaikan RUU Tambang’
JAKARTA (Bisnis): Kalangan pertambangan meminta pemerintahan baru segera menyelesaikan regulasi di bidang pertambangan untuk mengganti undang-undang sebelumnya yang dinilai tidak relevan, sehingga dapat memperbaiki iklim investasi.
Ketua Asosiasi Pertambangan Indonesia (Indonesian Mining Association/IMA) Benny N. Wahjoe mengungkapkan UU No. 11/1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan yang dijadikan regulasi bidang usaha itu harus diganti karena tidak relevan dengan situasi terakhir ini.
"Kami mengharapkan pemerintah baru segera menyelesaikan UU Pertambangan yang baru dan mengganti yang lama agar investasi bisa meningkat," katanya dalam jumpa pers di Jakarta kemarin.
Dia menegaskan potensi pertambangan Indonesia tahun depan memerlukan kepastian hukum. Hal itu, lanjutnya, diperlukan investor untuk menjamin kelangsungan usahanya di Indonesia.
Selain itu, tutur Benny, regulasi dalam UU No. 11/1967 tidak dapat mengakomodasi persoalan pertambangan terkait dengan otonomi daerah. Apalagi, kata dia, sejumlah daerah penghasil migas sudah mengajukan permintaan kenaikan dana bagi hasil migas.
"Ini bersaing dengan negara lain, seperti Rusia, Myanmar, dan China. Jadi harus ada peraturan lebih baik agar menarik investor pertambangan," tukasnya.
Senada dengan Benny, Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Simon F. Sembiring mengatakan regulasi baru itu harus dapat diselesaikan secepatnya untuk menetapkan peraturan antara yang ditetapkan pemerintah belum lama ini.
Dia menyatakan peraturan antara itu ditetapkan dalam bentuk Surat Keputusan (SK) Menteri ESDM untuk mengisi kekosongan regulasi di beberapa sektor pertambangan.
"Bentuknya SK. Sudah ada beberapa yang dikeluarkan, misalnya, dalam hal batu bara. Tapi ini memang harus segera dikuatkan dengan UU baru pengganti UU No. 11/1967 itu."
Rencana investasi
Terkait pengajuan investasi, Simon menyatakan pihaknya telah menerima sejumlah pengajuan itu dari beberapa perusahaan. Namun, lanjutnya, perizinan itu baru dapat disetujui setelah pemerintahan baru terbentuk.
Sementara itu, Benny menginformasikan permintaan kelanjutan investasi itu juga disampaikan oleh sejumlah perusahaan tambang yang pernah terkendala tumpang-tindih lahan tambang dengan areal kehutanan.
"PT Gag Nickel [Sorong, Papua] dan PT Weda Bay Nickel [Halmahera] sudah siap melanjutkan investasi dengan dana masing-masing sekitar US$1,5 miliar. Tapi perizinannya tetap harus menunggu pemerintahan baru."
Dua perusahaan pengelola tambang nikel itu diketahui bermasalah akibat perubahan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan yang menyebabkan sejumlah perusahaan tambang kehilangan lahan karena adanya tumpang tindih. (06)