85% Pengusaha Keluhkan Pungutan Daerah
![]() |
JAKARTA (Media), 13 Januari, 2004: Sebanyak 85% pengusaha perusahaan daerah, nasional, dan asing menyatakan telah mengeluarkan biaya tidak resmi dalam birokrasi pelayanan dunia usaha di berbagai daerah di Indonesia. Biaya tidak resmi tersebut diakibatkan oleh ulah para oknum pengadilan, aparat keamanan, kelompok masyarakat, dan preman. Hal tersebut merupakan hasil penelitian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) bekerja sama dengan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, United States Agency for International Development (USAID) dan The Asia Foundation terhadap 5.140 perusahaan daerah, nasional, dan asing di Indonesia selama 2003. "Tingginya pungutan tidak resmi kepada pengusaha merupakan satu hal penting yang harus dibenahi," kata Direktur Eksekutif KPPOD yang juga selaku koordinator tim peneliti, Agung Pambudhi dalam jumpa persnya di Jakarta, kemarin. Besaran rata-rata biaya tidak resmi tersebut adalah 2% dari total biaya produksi, sedangkan 337 responden menyatakan besarnya mencapai 8-10%. Dalam pelayanan birokrasi, rata-rata pungutan yang terjadi besarnya 60,62% dari biaya resmi. Proses peradilan yang merupakan proses terjadinya pungutan tidak resmi yang paling tinggi, banyak dikeluhkan terutama oleh para pengusaha agroindustri (35,9%), kehutanan (29,7%), industri (13,1%) serta perdagangan dan jasa (12,6%). Dalam kajian tekstuan terhadap 896 peraturan daerah (Perda), KPPOD menyatakan 53% perda bisa diterima, 32% dinilai distortif sedangkan sisanya (15%) dinilai suportif. Sementara itu, 20,2% responden pengusaha menilai, perda dan kebijakan daerah lainnya telah mendistorsi aktivitas usaha dan investasi. Hal itu disebabkan karena 86% responden pengusaha menyatakan mereka tidak pernah dilibatkan dalam merumuskan perda atau kebijakan daerah. Lima faktor utama Hasil penelitian lainnya adalah KPPOD mengeluarkan nominasi kabupaten/kota yang mempunyai daya tarik investasi terbaik selama 2003. Penelitian tersebut dilakukan pada 156 kabupaten dan 44 kota dari 29 provinsi di Indonesia. Kategori pemeringkatan berdasarkan pada lima faktor utama, 14 variabel serta 52 indikator. Faktor utama yang menjadi dasar pemeringkatan adalah, kelembagaan, sosial politik, ekonomi daerah, tenaga kerja dan produktivitas dan infrastruktur fisik. Dari masing-masing faktor tersebut akan dipilih satu pemenang dari 10 nominasi kabupaten serta satu pemenang dari 5 nominasi kota. Untuk kategori umum, dipilih 10 nominasi kabupaten terbaik yakni Banggai (Sulawesi Tengah), Barito Utara (Kalimantan Tengah), Bulungan (Kalimantan Timur), Enrekang (Sulawesi Selatan), Jembrana (Bali). Lalu, Jeneponto (Sulawesi Selatan), Kuningan (Jawa Barat), Magetan (Jawa Timur), Purwakarta (Jawa Barat), Tasikmalaya (Jawa Barat). Sedangkan 5 nominasi kota peringkat terbaik kategori umum adalah Batam (Riau), Cilegon (Banten), Cirebon (Jawa Barat), Kediri (Jawa Timur) dan Sawahlunto (Sumatra Barat). Dari kategori umum tersebut akan dipilih peringkat satu, dua, dan tiga untuk setiap nominasi kabupaten dan kota. Pemberian penghargaan tersebut rencananya diserahkan pada 20 Januari mendatang dalam sebuah acara resmi, yang akan dihadiri Menteri Keuangan Boediono dan Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno. Beberapa waktu lalu kepada pers, Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) Syaukani HR mengungkapkan semua pihak hendaknya lebih arif dan bijak dalam menilai pelaksanaan otonomi daerah. Meski mengakui adanya pungutan di sejumlah daerah, yang memberatkan investor, tetapi dia meminta jangan digeneralisasi. Soalnya, daerah yang baik, dan kondusif bagi perkembangan dunia usaha lebih banyak lagi di Republik ini. "Jadi, tidak adil kalau menyamaratakan semuanya, seolah-olah pelaksanaan otonomi daerah mematikan iklim berusaha. Harus proporsional melihat permasalahan yang ada," kata Bupati Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur ini, belum lama ini. Lagi pula, sejumlah kekeliruan yang timbul dalam implementasi otonomi daerah, tidak bisa sepenuhnya ditimpakan kesalahannya kepada daerah. Karena, sejauh ini pemerintah pusat yang mestinya memberikan bimbingan, petunjuk, termasuk menyelesaikan berbagai aturan, atau petunjuk pelaksanaan, tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Adapun keluhan soal pungutan di daerah, Syaukani memastikan datangnya dari pengusaha kecil yang bersandar pada proyek-proyek pemerintah. Pengusaha-pengusaha besar, seperti yang berinvestasi di daerahnya, diakui tak pernah ada keluhan soal pungutan yang diberlakukan. "Sepanjang pengalaman, yang ribut itu biasanya pengusaha kecil, yang modalnya kecil. Lagi pula selama ini setiap pungutan yang daerah lakukan sudah secara proporsional. Kalau tidak, investor besar bisa lari," katanya |