’Segera ajukan RUU Pertambangan ke DPR’

JAKARTA (Bisnis, 2 April 2004): Perhapi meminta supaya RUU Pertambangan Umum untuk dikembalikan langsung ke DPR mengingat investor sudah menunggu keluarnya payung hukum untuk beroperasi di sektor tambang di Indonesia.

Chairman Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia Abdul Latief Baky menuturkan saat ini draf RUU Pertambangan Umum ditarik lagi dari Sekretariat Negara.

"Penarikan tersebut dikarenakan draf yang lama masih memasukkan masalah panas bumi dan sumber daya air. Namun demikian, jika draf tersebut dikembalikan ke tim teknis, maka waktu yang dibutuhkan semakin panjang," tuturnya seusai mengikuti Rapat Umum Tahunan Pemegang Saham PT Inco di Jakarta kemarin.

Menurut dia, sebaiknya draf tersebut langsung dimasukkan ke DPR, sehingga segera dilakukan pembahasan.

Latief menuturkan pembahasan di DPR ini menyertakan juga roadmap pertambangan yang dibuat dengan tujuan sebagai cetak biru pertambangan.

Jadi, katanya, nantinya pasal-pasal yang ada dalam roadmap pertambangan ini akan dimasukkan ke dalam draf RUU Pertambangan Umum. Sejauh ini, katanya, dalam roadmap tersebut telah diinventarisasikan beberapa masalah yang terjadi di sektor tambang.

"Oleh karena itu ada baiknya isi dari roadmap tersebut dimasukkan dalam draf RUU Pertambangan Umum.

Dalam kesempatan itu, Latief menuturkan roadmap pertambangan masih perlu disosialisasikan kepada masyarakat. Selama ini, katanya, yang terlibat dalam pembuatan roadmap adalah pemerintah, perusahaan tambang, dan asosiasi.

Menurut dia, keterlibatan masyarakat dapat dikatakan hampir tidak ada. Selain itu, ujarnya, sosialisasi dengan sektor lain yang terlibat di pertambangan juga diperlukan.

"Jangan sampai nantinya roadmap pertambangan ini sudah pada titik terakhir kemudian diubah kembali karena ada ketidakpuasan dari masyarakat dan terbentuk peraturan dari sektor lain," katanya.

Dalam roadmap Pertambangan Umum disebutkan bahwa masalah yang berkait dengan berhentinya investasi di Indonesia adalah tidak adanya eksplorasi dan kepastian berusaha, iklim usaha yang buruk menyusul krisis moneter 1997, entry cost relatif mahal, corruption perception index buruk, lamanya birokrasi, dan tidak jelasnya kebijakan kewenangan pengelolaan pertambangan.

sumber: