’DPR dan pemerintah sekarang tak berhak susun RAPBN 2005’

 

JAKARTA (Bisnis): Bisnis, 6 Febrauri 2004- Pemerintah dapat mengajukan UU transisi yang hanya menyepakati pembiayaan pengeluaran rutin pemerintahan baru selama RAPBN 2005 belum disepakati oleh pemerintah dan DPR hasil Pemilu 2004.

Tim Indonesia Bangkit menegaskan cara tersebut jauh lebih elegan dan reasonable, supaya pemerintah dan DPR hasil Pemilu 1999 tidak dinilai sebagai "kemaruk kuasa" dan melakukan tindakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokratis."

Menurut Tim Indonesia Bangkit, pemerintah dan DPR hasil Pemilu 1999 tidak berhak merumuskan kebijakan-kebijakan strategis, seperti halnya RAPBN 2005, karena menjadi hak Presiden dan DPR hasil Pemilu 2004.

"Jika hak pemerintah dan DPR yang akan datang ditiadakan oleh tindakan tersebut [percepatan], maka dari kacamata politik ekonomi maupun kebijakan ekonomi strategis, manfaat Pemilu 2004 nyaris tidak tidak ada gunanya," ungkap koordinator Tim Indonesia Bangkit Rizal Ramli kemarin

Menurut Rizal, arti penting hasil Pemilu di negara-negara demokratis (yang diinginkan pemerintah) justru adalah pergeseran kebijakan ekonomi dan fiskal oleh pemerintahan dan parlemen terpilih.

"Pemilu seharusnya memungkinkan terjadinya penyegaran, perbaikan, dan reorientasi dari kebijakan ekonomi melalui mekanisme demokratis," jelasnya.

Pernyataan Tim Indonesia Bangkit tersebut menanggapi perkembangan wacana mengenai percepatan pembahasan RAPBN 2005 yang diinginkan pemerintahan DPR sekarang.

Ketua Panitia Anggaran DPR Abdullah Zainie bahkan sebelumnya mengatakan percepatan pembahasan RAPBN 2005 ditujukan untuk memberi payung hukum bagi pemerintahan yang baru.

Menurut dia, jika pembahasan RAPBN 2005 tidak dipercepat maka pemerintahan yang baru tidak bisa memanfaatkan penerimaan negara sebagai modal pembangunan karena tidak memiliki UU APBN.

Dia memberi contoh jika APBN 2005 gagal diselesaikan pada tahun ini maka pegawai negeri sipil terpaksa tidak mendapatkan penghasilannya karena pemerintah tidak memiliki hak menggunakan kas negara.

APBN 2004, sambungnya, tidak bisa digunakan karena UU APBN hanya memperkenankan penggunaan APBN sebelumnya jika APBN baru gagal karena tidak mendapat persetujuan DPR.

Kebijakan strategis

Tim Indonesia Bangkit melanjutkan di berbagai negara, presiden dan parlemen yang terpilih memiliki hak dan kewenangan untuk merumuskan kebijaksanaan strategis dalam bidang ekonomi dan fiskal.

Dia memberikan contoh Amerika Serikat (AS), di mana presiden yang terpilih pada November, memiliki waktu sampai Januari untuk membahasnya dengan Kongres. Kebijakan ekonomi dan fiskal yang diajukan oleh Presiden terpilih, kata dia, merupakan cerminan dari preferensi pemilih mayoritas.

Apabila pemerintah tetap ngotot melakukan percepatan pembahasan, maka kebijakan itu menunjukkan suatu tindakan anti demokrasi dan pembajakan terhadap aspirasi rakyat hasil Pemilu tahun 2004.

Rizal juga menegaskan rencana pembahasan RAPBN 2005 oleh pemerintahan dan DPR hasil Pemilu 1999 merupakan suatu tindakan fait accompli kepada pemerintahan baru yang membajak arah kebijakan fiskal sesuai kehendak pemerintah saat ini.

Argumen bahwa RAPBN 2005 yang direncanakan dapat di revisi di kemudian hari, Rizal menilainya sebagai argumen yang asal-asalan yang akan membuang waktu dan dana. (gak

sumber: