8 Perusahaan Tambang Tunggak Royalti
Banjarmasin, BPost Mengenai lama tunggakan pembayaran royalti batu bara cukup bervariasi. Arutmin, misalnya, menunggak selama tahun 2004 sedangkan yang lainnya ada yang lebih dari setahun. Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kalsel, Sukardhi, ditemui usai dengar pendapat dengan Komisi C DPRD Kalsel, Selasa (25/1) mengatakan, tunggakan itu terjadi karena perusahaan-perusahaan mengingkari isi perjanjian yang ditandatangani sebelumnya. Dalam perjanjian tersebut, jelas dia, perusahaan diharuskan menyetorkan royalti kepada pemerintah, maksimal sebulan setelah mereka melakukan transaksi penjualan. "Namun para pengusaha tidak mematuhi isi perjanjian hingga akhirnya tunggakan menggunung dan tak terbayar," ungkapnya. Menurut Sukardhi, perusahaan-perusahaan penunggak itu selalu beralasan cash flow (kondisi keuangan) mereka sedang lesu. Mereka kemudian meminta tenggang waktu pembayaran. "Tidak sedikit pula yang beralasan tanggung jawab pembayaran merupakan kewajiban kantor pusat di Jakarta," cetusnya. Diakui Sukardi dari delapan perusahaan itu, sebagian telah menyatakan kesanggupannya membayar tunggakan pada triwulan pertama tahun 2005 ini. "Sebenarnya menghadapi alasan mereka kita tetap mengupayakan penagihan dengan melakukan peneguran. Sayangnya, selama ini kami belum dapat berbuat banyak karena mentok dengan jawaban seperti itu," ujarnya. Kendala lainnya, sebut dia, karena usaha penarikan royalti di daerah terkesan kurang mendapat dukungan dari pemerintah pusat. Ditanya mengenai sanksi yang bisa diberikan kepada perusahaan penunggak, Sukardhi mengancam tidak segan-segan menutup pelayanan administrasi sehingga mereka tidak bisa menjalankan usahanya lagi. Selain itu, mereka juga dikenai denda 2 persen dari nilai tunggakan. Menanggapi adanya sorotan mengenai pemanfaatan royalti yang tidak transparan, Sukardhi membantahnya. Secara diplomatis dikatakan royalti itu akan dikembalikan kepada pemerintah daerah untuk dana pembangunan.Tak Masuk Akal Pengamat ekonomi dari Fakultas Ekonomi Unlam, Syahrituah Siregar SE MA menyatakan, pembayaran royalti umumnya memang hanya didasarkan pada agreement antara perusahaan dan pemerintah pusat, hingga di daerah memiliki banyak kelemahan yang implikasinya kadang menyulitkan bagi pemerintah di daerah. Namun demikian bahwa alasan lesunya keuangan perusahaan jelas tidak bisa dijadikan alasan tidak membayarkan royalti. Menurut Syahrituah, sebagai perusahaan besar, sudah seharusnya memiliki limit dana operasional, termasuk untuk pembayaran royalti. "Hal itu justru merupakan modal yang dijadikan pertimbangan sebelum ditandatanganinya perjanjian usaha," katanya. Menurut dia, bisa saja alasan itu dipakai tapi harus didukung dengan laporan rutin tentang cost yang ada. Di bagian lain, dia mengakui seretnya pembayaran royalti memiliki korelasi terhadap ketersediaan dana pembangunan bagi masyarakat setempat. Pasalnya, royalti yang disetor ke pusat pada akhirnya dibagi-bagi sampai ke daerah --meski untuk masyarakat ini dinilai sangat kecil. "Saya menilai pembagian royalti tidak adil. Setelah dibagi-bagi, masyarakat sendiri hanya menerima kurang dari sepersen. Sehingga sebenarnya masyarakat menikmati royalti itu sangat kecil," ungkapnya. Selama ini, sebut dia, terdapat data mengenai pembagian royalti bagi masyarakat. Namun itu hanya sebatas angka-angka. Dari berbagai riset yang ada diketahui, dana royalti bagi masyarakat itupun masih banyak yang jadi rebutan para pejabat. "Jadi kalau dikatakan tidak transparan mungkin tidak. Ada angka-angka tentang pembagian itu, namun begitu lah itu belum faktual karena banyak yang menguap karena dinikmati para pejabat, misalnya," katanya. m4/pwk
Delapan perusahaan pertambangan batu bara yang beroperasi di Kalimantan Selatan menunggak pembayaran royalti. Total tunggakan hingga awal 2005 mencapai 38 juta dolar AS (Rp342 miliar).Kedelapan perusahaan itu adalah PT Arutmin Indonesia, PT Bahari Cakrawala Sebuku, PT Adaro, PT Bentala Coal Mining, PT Antang Gunung Meratus, PT Sumber Kurnia Buana, PD Baramarta dan PT Baramulti Sukses Sarana. Perusahaan-perusahaan itu merupakan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B).