7 Provinsi desak BKPM tinjau SK 58 Daerah soroti sentralisasi izin investasi
Bahkan, para kepala daerah mengklaim tetap dapat memroses perizinan investasi langsung asing maupun domestik (PMA dan PMDN) di daerah masing-masing, sesuai Keputusan Presiden No. 29/2004 mengenai pelayanan izin investasi satu atap.
"Dengan keppres tersebut [yang secara hirarkis lebih tinggi dari SK Kepala BKPM], daerah tetap dapat menangani perizinan PMA dan PMDN," ujar Hari Sandjojo, Asisten Sekwilda II Bidang Perekonomian Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, kepada Bisnis tadi malam.
Menurut dia, pemerintah pusat seharusnya berpegangan pada Keppres 29/2004, yang tetap mengizinkan gubernur/walikota/bupati dapat memroses perizinan investasi berfasilitas PMA/PMDN.
Kecuali, jelasnya, jika aparat daerah bersangkutan tidak dapat memiliki SDM yang memadai untuk menangani proses perizinan tersebut, sehingga dapat diserahkan ke Badan Koordinasi Penanaman Modal di Jakarta.
BKPM pada 20 Juli 2004 menerbitkan SK No.58/2004 dan SK No. 60/2004 yang mencabut kewenangan Gubernur/Bupati/Walikota untuk memberikan perizinan di daerah serta mencabut kewenangan Kepala BKPM Daerah untuk memberikan persetujuan perubahan penggunaan tanah bagi proyek-proyek PMDN/PMA di daerah.
Langkah BKPM itu dinilai bertolak belakang dengan nuansa desentralisasi sesuai UU No.22/1999 yang mengatur otonomi daerah.
Bahkan, menurut Muzahiem Mokhtar, Kepala Badan Penanaman Modal dan Pendayagunaan Kekayaan dan Usaha Daerah (BPM-PKUD) Provinsi DKI Jakarta, tujuh provinsi se-Jawa dan Bali telah menyusun rekomendasi kepada BKPM agar meninjau kembali SK No.58 itu. "SK No. 58 itu tidak sejalan dengan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah," ujarnya.
Muzahiem berharap BKPM bersedia meninjau SK No 58 berdasarkan rekomendasi tujuh provinsi yang dihasilkan dalam pertemuan bulan lalu itu. Namun, menurut dia, BKPM belum memberi jawaban atas pernyataan bersama dari tujuh provinsi tersebut.
Menindaklanjuti kontroversi Keppres 29 dan SK BKPM No. 58 itu, kabarnya Kepala BKPM Batam, Surabaya, dan Balikpapan akhir pekan ini diundang ke Jakarta untuk membahas RUU Penanaman Modal, dan selanjutnya Keppres akan menyesuaikan ketentuan dalam UU itu.
Penolakan terhadap SK BKPM No. 58 pertamakali diungkapkan I. Komang Warry, Kepala Pusat Informasi dan Promosi Badan Penanaman Modal (BPM) Provinsi Jatim. (Bisnis, 3 Oktober)
Warry mengatakan SK yang menindaklanjuti Keppres 29/2004 itu bersifat sentralistik. "Keppres ini dapat bersifat kontra produktif dan menimbulkan kerancuan terhadap proses perizinan serta kelangsungan peran pemerintah daerah yang selama ini sudah membentuk lembaga perizinan setingkat dinas," katanya kala itu.
Batal demi hukum
Dari Makassar, Dekan FE Unhas Taslim Arifin justru menyalahkan semangat Keppres 29/2004 yang sentralistik itu sebagai biang keladi munculnya SK BKPM No.58, yang seharusnya batal demi hukum.
"Keppres soal perizinan investasi PMA dan PMDN ini tidak bisa dilaksanakan pemerintahan mendatang. Kami mengusulkan kepada pemerintahan SBY-Kalla untuk segera mencabut keppres itu setelah dilantik," kata Taslim.
Taslim memahami bahwa
Tetapi, menurut dia, Keppres 29 yang sentralistik itu membuat aturan hukum investasi menjadi kacau karena tidak terintegrasi dengan UU lain, terutama UU 22/1999.
Karena itu, Taslim mendukung pemda agar mengajukan masalah tersebut ke Mahkamah Konstitusi sehingga tidak menjadi preseden buruk bagi pengembangan investasi di daerah.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Kota Batam Syamsul Bahrum juga sependapat Asosiasi Pemerintah Kota bisa saja mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas berlakunya SK BKPM No.58/2004 dan Keppres 29/2004.
Sedangkan Wildan Arief, Kasie Penanaman Modal Asing BKPM Otorita Batam, melihat Keppres 29/2004 pada dasarnya untuk menyelenggarakan tertib prosedur izin investasi.
Tetapi Syamsul mengimbau idealnya BKPM pusat hanya menangani investasi strategis seperti bioteknologi, nuklir, senjata, satelit, bio kimia, pupuk, dan lainnya. Bukannya industri kulit, TV, Radio, kulkas, sepatu atau lainnya.
Libatkan daerah
Ekonom Indef Iman Sugema juga mengatakan proses perizinan investasi satu atap seharusnya tetap melibatkan pemerintah daerah.
Dia menilai BKPM tidak bisa berjalan sendiri, tetapi harus tetap melibatkan pemda, baik Pemprov, Pemkab/Pemkot, termasuk sejumlah instansi terkait lainnya, mulai Dinas Perindag hingga Lingkungan Hidup.
"Coba Anda bisa bayangkan kalau perizinan investasi disetujui BKPM, tapi ditolak [pemda], apa nggak semakin ruwet. Untuk menghindari hal-hal yang bersifat kontra produktif seperti itu sebaiknya Keppres atau SK BKPM-nya dicabut sajalah," paparnya.
sumber: